Hambatan Utama Jualan Online di Media Sosial
beritaterkini99 – Pada 2010, Levi Strauss meluncurkan ‘Friends Store’ yaitu sebuah channel berbelanja berbasis di Facebook yang memungkinkan pembeli untuk login lewat Facebook dan memberikan Like atau Share produk-produk Levi.
Namun, 5 tahun berjalan, clothing brand tersebut mengalami penurunan Like pada produk di toko online miliknya–seperti kebanyakan brand lain yang menggunakan channel seperti ini.
Sementara Twitter telah menguji berbagai cara untuk mengintegrasikan social commerce. Meskipun taktik ini biasanya menjadi berita utama, mereka kesulitan memecahkan masalah untuk meyakinkan orang membeli melalui Twitter.
“Salah satu hambatan utama untuk mensosialisasikan cara belanja adalah banyak orang yang enggan mencampur pengalaman berbelanja dengan aktivitas jejaring sosial mereka,” kata Silvia Ratna, CEO Refeed.id dalam keterangannya, Jumat (14/9/2018).
Silvi melanjutkan, mereka melihat situs seperti Facebook dan Twitter sebagai alat untuk berkomunikasi dengan teman dari pada tempat untuk berberlanja. Kendala umum lainnya adalah ketidakyakinan pengguna media sosial untuk memasukkan data dalam berbelanja di jejaring sosial.
“Beberapa tahun terakhir banyak muncul situs belanja yang memiliki fitur sosial, seperti Wanelo, Fancy, Fab.com, dan Polyvore. Dikarenakan situs-situs tersebut dirancang khusus untuk berbelanja, mereka tidak mengalami hambatan seperti yang disebutkan di atas,” ujarnya menjelaskan.
Menyesuaikan Budaya Media Sosial di Indonesia
Silvia menilai, social commerce umumnya digunakan untuk merujuk pada pengalaman belanja online yang mencakup elemen sosial, seperti menyukai produk atau membeli sesuatu melalui tautan yang di-post di media sosial. Namun, langkah terbaru dalam evolusi belanja sosial adalah experience yang benar-benar menyeluruh.
“Pengguna menemukan dan membeli produk dalam satu platform media sosial yang sama, tidak perlu melompat ke situs eksternal. Kelemahannya adalah bisnis yang terjadi kerap menemui kendala pada proses bisnis yang membuat tidak terjadi skalasi bisnis maupun konversi,” ucap Silvia menambahkan.
Untuk itu, menurut Silvia, hadirnya Refeed.id menyelesaikan dalam bentuk lain, tepatnya menyesuaikan dengan budaya media sosial di Indonesia.
“Dengan membuat minishop yang terintegrasi end-to-end dengan konsep Like2Buy, bisa mengeksekusi pertumbuhan trafik dari berbagai channel, membangun follower sebagai reseller dengan pembagian komisi, payment gateway untuk mempercepat scaleup bisnis di media sosial, bahkan sampai pada fitur COD (Cash on Delivery) untuk melakukan penetrasi pasar dengan cepat dan aman,” katanya menjelaskan.
Refeed.id diklaim mampu menyatukan konsep end-to-end solution dan Like2Buy dengan fokus membuat bisnis cepat tumbuh besar dengan berbagai fitur otomatisasi.